December 29, 2021

Kesalahan Ahli Hadis

Albani dalam Pandangan Ali Mustafa Yaqub


Axacell mengaji : Ali Mustafa Ya’qub dikenal sebagai ulama ahli hadis Indonesia yang tegas dan kritis. Nāṣir al-Dīn al-Albāni pun (w. 1999 M.), pakar hadis modern dari Damaskus ini tidak luput dari kritik tajam Ali Mustafa. Menurutnya, pemikiran al-Albani banyak melawan arus pemikiran Islam yang sedang berkembang, bahkan yang sudah mapan
.

Seperti pendapat al-Albani di dalam kitabnya Adab al-Zifāf bahwa perempuan diharamkan memakai perhiasan emas yang melingkar (cincin, kalung, gelang dan sebagainya), padahal fatwa tersebut bertentangan dengan hadis shahih dan ijma’ ulama.


Oleh karena itu, Ali Mustafa sangat mendukung apa yang dilakukan oleh Syeīkh Ismāīl al-Anṣārī dalam kitabnya Ibāḥaḥ al-Taḥallī bi al-Dzahab al-Muallaq li al-Nisā wa al-Radd alā al-Albānī Fī Taḥrīmihi, dan Syeīkh Arsyād al-Salafī, ahli hadis dari India dalam kitabnya alAlbānī, Syudzūdzuhū wa Akhṭaṭuhu untuk meluruskan kesesatan pendapat al-Albānī tersebut.

Selain itu, menurut Ali Mustafa al-Albānī jelas sekali telah menjungkirbalikkan kaidah-kaidah telah dibakukan dan disepakati oleh ahli-ahli hadis. Bahkan ia berani mendhaifkan hadis-hadis al-Bukhārī dan Muslim yang telah disepakati keshahihannya oleh para ulama, dan di sisi lain ia menshahihkan hadis yang dinyatakan sebagai semi palsu atau palsu oleh ulama hadis.

Salah satu pendapat al-Albānī yang dianggap sangat radikal oleh Ali Mustafa adalah bahwa orang yang shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama dengan orang shalat dhuhur lima rakaat, artinya shalat tarawih yang lebih dari sebelas rakaat itu haram seperti haramnya shalat dhuhur 5 rakaat. Dasar fatwa al-Albānī adalah hadis Jabir dimana isinya Nabi Saw. merestui Ubay bin Ka’ab shalat Tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat.

Sementara Hadis yang menerangkan bahwa para sahabat shalat Tarawih dua puluh rakaat dinilai dhaif oleh al-Albani. Padahal menurut penelitian Ismail al-Anshari, hadis Jabir tersebut yang diriwayatkan al-Mauṣūlī dan al-Marwadzī adalah dhaif. Karena sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah, seorang yang dhaif.

Ali Mustafa pun juga meneliti hadis tersebut dari sumber Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, al-Mu‟jam al Ṣaghīr karya al-Ṭabrānī dan Mizān al-I’tidāl fī Naqd al-Rijāl karya al-Dzahabī dan kesimpulannya ternyata membenarkan hasil penelitian al-Anṣārī. Bahkan Isa bin Jariyah itu sangat parah, karena menurut ulama kritikus Hadis, ia adalah munkar bahkan matruk. Sementara hadis yang menerangkan bahwa para sahabat shalat Tarawih dua puluh rakaat dinilai dhaif oleh al-Albani itu terdapat di dalam Ṣaḥīḥ alBukhārī yang otomatis hukumnya shahih.

Bukti lainnya adalah al-Albani di dalam kitabnya Ḍaīf al-Jāmi wa Ziyādatuhu, ia mendhaifkan hadis al-Bukhari dan Muslim tanpa menyertakan alasan kedhaifannya. Seperti hadis:

قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Al-Albānī kemudian mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan al Bukhārī dari Abī Hurairah, dhaif. Padahal setelah dicek Ali Mustafa (dan penulis juga) hadis tersebut memang terdapat di dalam kitab Shahih al-Bukhārī, yang menurut kesepakatan ulama kitab yang paling shahih setelah Alquran.

Selanjutnya dalam kitab yang sama, al-Albānī menyebutkan hadis:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

Al-Albānī kemudian mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah, dhaif. Padahal menurut penelitian Ali Mustafa (dan penulis), hadis tersebut ada di Ṣaḥīḥ Muslim.

Sementara itu, sikap Ali Mustafa sendiri terhadap al-Albānī adalah apabila terdapat ahli-ahli hadis lain selain al-Albani yang menshahihkan dan atau mendhaifkan hadis, maka pendapat al-Albānī dalam hal itu Ali Mustafa ambil.

Dan apabila hanya ada al-Albani sendiri yang menshahihkan dan atau mendhaifkan hadis, maka Ali Mustafa tidak mengambil pendapat al-Albani. Maka bagi Ali Mustafa, pendapat al-Albānī hanya untuk perbandingan, bukan untuk pegangan.

Oleh karena itu, Ali Mustafa menyayangkan salah satu gurunya Muhammad Mustafa al-Aẓāmī ketika mentakhrij dan mentahqiq kitab Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah menyerahkan sepenuhnya kepada al-Albānī untuk mengoreksi kembali kitab tersebut khususnya catatan-catatan tentang hadis-hadis, bahkan dalam menetapkan keshahihan dan kedhaifan hadis.

Selain al-Aẓāmī, Ali Mustafa juga menyayangkan Zuhair al Syawisy ketika hendak menerbitkan kitab Syarḥ al-Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah karya Ibn Abī Izz al-Ḥanafī (w. 792 H.), ia mempercayakan sepenuhnya kepada al-Albānī untuk mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab tersebut. Dan hasilnya, hadis hadis yang sudah jelas ada di dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim masih ia cantumkan di dalam catatan kaki, hadis itu Shahih.

Menurut Ali Mustafa, hal ini sangat berlebihan, karena ia telah memberikan kesan bahwa hadis-hadis itu baru dinyatakan shahih setelah mendapatkan penetapan shahih dari al-Albānī. Padahal menurut Ali Mustafa, pada masa kini, semua orang, utamanya para pemerhati Hadis mengetahui bahwa sebuah Hadis apabila diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim dalam salah satu atau kedua kitab shahih mereka maka Hadis itu Shahih, meskipun tidak disebutkan kata shahih.

Bagaimanapun, keberadaan al-Albānī menurut Ali Mustafa juga ada manfaatnya, setidaknya telah membuat para ulama mau mengobok-ngobok perpustakaan dan menelurkan karya untuk mengkritik al-Albānī seperti halnya yang dilakukan oleh Ḥabīb al-Aẓāmī dengan karyanya “al-Albānī Syudzūdzuhu wa Akhtā‟uhu fī Arba’ati Ajzāin, Abdullah al-Hararī dengan karyanya Tabyīnu Ẓalālāt al-Albānī dan masih banyak lagi.

Bahkan al-Ghimārī salah satu ulama pengkritik alAlbānī mengatakan: “Orang yang mau memeriksa buku-buku al-Albānī dan dia memiliki ilmu serta jauh dari sikap fanatik dan kedunguan, maka ia akan mengetahui dengan jelas bahwa al-Albānī lemah dalam Ilmu Hadis, baik matan maupun sanad.”

Dengan demikian, perkataan al-Ghimari menunjukkan bahwa Ali Mustafa juga termasuk orang yang memiliki ilmu dan tidak fanatik bahkan dungu dengan tidak mengikuti arus pemikiran al-Albānī terlebih dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

July 02, 2021

Hadits-Hadits Shahih Sedekah

 


Hadits keutamaan bersedekah 

copy by:
H. Abdul Somad, Lc., MA.

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ما أطعمت زوجتك فهو لك صدقة، وما أطعمت ولدك فهو لك صدقة، وما أطعمت خادمك فهو لك صدقة، وما أطعمت نفسك فهو لك صدقة) صحيح أحمد والطبراني.

Rasulullah Saw bersabda:
“Makanan yang engkau berikan kepada istrimu adalah sedekah bagimu, makanan yang engkau berikan kepada anakmu adalah sedekah bagimu, makanan yang engkau berikan kepada pembantumu adalah sedekah bagimu dan makanan yang engkau berikan kepada dirimu sendiri adalah sedekah bagimu”.
(HR. Ahmad dan ath-Thabrani).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(نفقة الرجل على أهله صدقة) صحيح بخاري والترمذي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Nafkah yang diberikan seorang laki-laki kepada keluarganya adalah sedekah”.
(HR. Al-Bukhari dan at-Tirmidzi).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(صدقة السر تطفئ غضب الرب، وصلة الرحم تزيد في العمر، وفعل المعروف يقي مصارع السوء) صحيح البيهقي.
Rasulullah Saw bersabda:
“Sedekah yang diberikan secara diam-diam dapat memadamkan murka Allah, silaturahim menambah usia dan perbuatan baik dapat menjaga dari kematian yang jelek”.
(HR. Al-Baihaqi).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(من أنظر معسراً، فله كل يوم صدقة قبل أن يحل الدين، فإذا أحل الدين فأنظره بعد ذلك فله كل يوم مثلين صدقة) صحيح الحاكم.

Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang (bersabar) menunggu orang yang kesulitan (membayar hutang), maka baginya sedekah satiap hari, hinga hutang itu dibayar. Jika ia menunda pembayarannya, ia (bersabar) menunggunya, maka baginya dua kali sedekah setiap hari”.
(HR. Al-Hakim).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ثلاث أقسم عليهن، ما نقص مال قط من صدقة فتصدقوا، ولا عفا رجل عن مظلمة ظلمها إلا زاده الله تعالى بها عزاً فاعفوا يزدكم الله عزاً، ولا فتح رجل على نفسه باب مسألة يسأل الناس إلا فتح الله عليه باب فقر) صحيح أحمد والبزار.
Rasulullah Saw bersabda:
“Aku bersumpah demi tiga perkara: harta tidak akan berkurang karena sedekah, maka bersedekahlah kamu. Seseorang yang memaafkan orang lain karena suatu perbuatan zalim, maka Allah pasti memuliakannya. Maka maafkanlah (orang yang berbuat zalim), maka Allah pasti menambahkan kemuliaan. Seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, maka Allah pasti akan membukakan pintu kefakiran kepadanya”.
(HR. Ahmad dan al-Bazzar).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - (إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناتهِ بعد موته، علماً علمهُ ونشرهُ، أو ولداً صالحاً تركه، أو مصحفاً ورثهُ، أو مسجداً بناهُ، أو بيتاً بناه لابن السبيل، أو نهراً أجراهُ، أو صدقة أخرجها من ماله في صحته وحياتهِ تلحقه من بعد موتهِ) حسن (ابن ماجه وابن خزيمة والبيهقي).

Rasulullah Saw bersabda:
“Yang menyertai orang mukmin dari amal kebaikannya setelah kematiannya adalah: ilmu yang pernah ia ajarkan dan ia sebarkan, atau anak shaleh yang ia tinggalkan, atau mushaf (al-Qur’an) yang ia wariskan, atau masjid yang telah ia bangun, atau rumah yang pernah ia bangun untuk Ibnu Sabil, atau sungai (aliran air) yang pernah ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan dalam kehidupannya, maka akan menyertainya setelah kematiannya”. [Hadits Hasan].
(HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(ما من مسلم يغرس غرساً أو يزرع زرعاً فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقةٌ) بخاري ومسلم والترمذي.

Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap muslim yang menanam tanaman, lalu dimakan burung atau manusia atau binatang, maka itu menjadi sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(صنائع المعروف تقي مصارع السوء والصدقة خفيا تطفئ غضب الرب، وصلةُ الرحم زيادة في العمر، وكل معروف صدقة، وأهل المعروف في الدنيا هم أهل المعروف في الآخرة، وأهل المنكر في الدنيا هم أهل المنكر في الآخرة) صحيح (طبراني في الأوسط عن أم سلمة).

Rasulullah Saw bersabda:
“Orang-orang yang berbuat kebaikan dipelihara dari kematian yang jelek. Sedekah secara rahasia memadamkan murka Allah. Silaturahim menambah usia. Semua perbuatan baik itu adalah sedekah. Orang yang berbuat baik di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik di akhirat. Orang-orang yang melakukan perbuatan munkar di dunia, mereka adalah orang-orang munkar di akhirat”.
(HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath).

قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –
(أفضل الصدقة: الصدقة على ذي الرحم الكاشح) صحيح ابن خزيمة والطبراني

Rasulullah Saw bersabda:
“Sedekah yang paling afdhal adalah sedekah yang diberikan kepada kerabat yang menyembunyikan permusuhannya”.
(HR. Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabrani).

عن أبي ذر جُنْدبِ بنِ جُنَادَةَ - رضي الله عنه - ، قَالَ: قُلْتُ : يَا رسولَ الله، أيُّ الأعمالِ أفْضَلُ ؟ قَالَ : (( الإيمانُ باللهِ وَالجِهادُ في سَبيلِهِ )) . قُلْتُ : أيُّ الرِّقَابِ أفْضَلُ ؟ قَالَ : (( أنْفَسُهَا عِنْدَ أهلِهَا وَأكثَرهَا ثَمَناً )) . قُلْتُ : فإنْ لَمْ أفْعَلْ ؟ قَالَ : (( تُعِينُ صَانِعاً أَوْ تَصْنَعُ لأَخْرَقَ )) . قُلْتُ : يَا رَسُول الله ، أرأيْتَ إنْ ضَعُفْتُ عَنْ بَعْضِ العَمَلِ ؟ قَالَ : (( تَكُفُّ شَرَّكَ عَنِ النَّاسِ ؛ فإنَّهَا صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ )) مُتَّفَقٌ عليه .
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah, ia berkata: “Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah amal yang paling afdhal?”.
Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad fi sabilillah”.
Saya bertanya, “Memerdekakan hamba sahaya yang bagaimanakah yang paling afdhal?”.
Beliau menjawab, “Hamba sahaya yang paling berharga diantara keluarganya dan paling mahal harganya”.
Saya bertanya, “Jika saya tidak melakukannya?”.
Rasulullah Saw berkata, “Engkau bantu orang lain yang melakukannya atau engkau lakukan tolong orang yang tidak memiliki pekerjaan”.
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya tidak mampu melakukannya?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Engkau tahan perbuatan jelekmu terhadap orang lain, maka sesungguhnya itu sedekah bagimu untuk dirimu sendiri”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

عن أبي ذر أيضاً - رضي الله عنه - : أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( يُصْبحُ عَلَى كُلِّ سُلامَى منْ أَحَدِكُمْ صَدَقةٌ : فَكُلُّ تَسبيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحمِيدةٍ صَدَقَة ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكبيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأمْرٌ بِالمعرُوفِ صَدَقةٌ ، ونَهيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقةٌ ، وَيُجزِىءُ مِنْ ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَركَعُهُما مِنَ الضُّحَى )) رواه مسلم .

Dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Setiap (perbuatan baik) tulang-tulang persendian kamu adalah sedekah, semua tasbih (ucapan: Subhanallah) adalah sedekah, semua tahmid (ucapan: alhamdulillah) adalah sedekah, semua tahlil (ucapan: La ilaha illallah) adalah sedekah, semua takbir (ucapan: Allahu Akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf (mengajak orang lain berbuat baik) adalah sedekah, nahi munkar (melarang orang lain berbuat munkar) adalah sedekah. Semua itu sama dengan dua rakaat shalat Dhuha”. (HR. Muslim).

عن أبي هريرةَ - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - :
(( كُلُّ سُلامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيهِ صَدَقَةٌ ، كُلَّ يَومٍ تَطلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ : تَعْدِلُ بَينَ الاثْنَينِ صَدَقةٌ ، وتُعِينُ الرَّجُلَ في دَابَّتِهِ ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالكَلِمَةُ الطَيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وبكلِّ خَطْوَةٍ تَمشيهَا إِلَى الصَّلاةِ صَدَقَةٌ ، وتُميطُ الأذَى عَنِ الطَّريقِ صَدَقَةٌ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap (perbuatan baik) tulang-tulang persendian manusia adalah sedekah, setiap hari matahari terbit: engkau damaikan antara dua orang, maka itu adalah sedekah, engkau bantu orang lain pada hewan tunggangannya, engkau bantu ia naik keatasnya, atau engkau angkatkan barang-baragnya, maka itu adalah sedekah. Kata-kata yang baik adalah sedekah. Setiap langkah yang engkau langkahkan untuk shalat adalah sedekah. Engkau buang sesuatu yang mengganggu dari jalan, maka itu adalah sedekah”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

عن أَبي موسى - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ،
قَالَ :(( عَلَى كلّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ ))
قَالَ : أرأيتَ إنْ لَمْ يَجِدْ ؟
قَالَ : (( يَعْمَلُ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ ))
قَالَ : أرأيتَ إن لَمْ يَسْتَطِعْ ؟
قَالَ : (( يُعِينُ ذَا الحَاجَةِ المَلْهُوفَ))
قَالَ : أرأيتَ إنْ لَمْ يَسْتَطِعْ ،
قَالَ : (( يَأمُرُ بِالمعْرُوفِ أوِ الخَيْرِ ))
قَالَ : أرَأيْتَ إنْ لَمْ يَفْعَلْ ؟
قَالَ : (( يُمْسِكُ عَنِ الشَّرِّ ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ ))

Dari Abu Musa, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Setiap muslim wajib bersedekah”.
Abu Musa bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia bekerja dengan kedua tangannya, lalu mendatangkan manfaat bagi dirinya, maka berarti ia telah bersedekah”.
“Bagaimana jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia tolong orang lain yang membutuhkan dan dalam kesulitan atau teraniaya”.
“Jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia ajak orang lain berbuat baik”.
“Jika ia tidak mampu?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Ia tahan dirinya untuk tidak melakukan perbuatan jahat kepada orang lain, maka itu sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

وعن أَبي مسعود البدري - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ :
(( إِذَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

Dari Abu Mas’ud al-Badri, dari Rasulullah Saw:
“Apabila seseorang memberikan nafkah kepada keluarganya, ia ikhlas hanya karena Allah, maka itu sedekah baginya”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

وعن سلمان بن عامر - رضي الله عنه - ، عن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( إِذَا أفْطَرَ أحَدُكُمْ ، فَلْيُفْطرْ عَلَى تَمْرٍ ؛ فَإنَّهُ بَرَكةٌ ، فَإنْ لَمْ يَجِدْ تَمْراً ، فالمَاءُ ؛ فَإنَّهُ طَهُورٌ )) ، وَقالَ : (( الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ )) رواه الترمذي ، وَقالَ : (( حديث حسن )) .

Dari Salman bin ‘Amir, dari Rasulullah Saw:
“Apabila salah seorang kamu berbuka, maka berbukalah dengan kurma, karena sesunggunya itu berkah. Jika ia tidak mendapatkan kurma, maka berbukalah dengan air, karena sesungguhnya air itu suci. Sedekah kepada orang miskin itu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat itu bernilai dua; sedekah dan menjalin tali silaturahim”.
(HR. At-Tirmidzi) [Hadits Hasan].

Semoga ada manfaatnya, amin.
Subuh Senin, 21 Sya’ban 1431H / 02 Agustus 2010M.
Diterjemahkan oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA

June 10, 2021

Dalil sampainya do’a dan istighfar kepada orang yang telah meninggal



Dalil sampainya do’a dan istighfar yg di tujukan kepada orang yang telah meninggal

Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah meninggal dapat memberikan manfaat kepadanya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ (الحشر: 10)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS. Al-Hasyr: 10)

Al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam al-Adzkar menuliskan:

“Semua ulama sepakat bahwa doa bagi orang-orang yang telah meninggal memberikan manfaat terhadap mereka dan pahala doa tersebut sampai kepada mereka. Mereka mengambil dalil firman Allah QS. Al-Hasyr: 10 (tersebut di atas) dan berbagai ayat lainnya, juga dengan dalil beberapa hadits masyhur di antaranya sabda Nabi:

اللّهُمّ اغْفِرْ لِأهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَد (رواه مسلم)

“Ya Allah ampunilah bagi orang-orang yang dimakamkan di Baqi’ al-Gharqad” (HR. Muslim)
Dan hadits Nabi:

اللّهُمّ اغْفِرْ لِحَيّنَا وَمَيّتِنَا (رواه الترمذي)

Ya Allah ampuni bagi orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal di antara kami” (HR. At-Tirmidzi)”. (Lihat al-Adzkar: 176)

Demikian juga membaca al-Qur’an di atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al-Qur’an di atas kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua bagian kemudian Nabi menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan Rasulullah bersabda:

لَعَلّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا (رواه الشيخان)

Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum kering”.

Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al-Qur’an di atas kubur, jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebih–lebih bacaan al-Qur’an orang mukmin. Al-Imam an-Nawawi berkata: “Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al-Qur’an di atas kubur berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbihnya pelepah kurma apalagi dari bacaan al-Qur’an” (Lihat dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, j. 3, h. 202). Jelas bacaan al-Qur’an dari manusia itu lebih agung dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al-Qur’an bermanfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka mayit begitu juga.
Di antara dalil bahwa mayyit mendapat manfaat dari bacaan al-Qur’an orang lain adalah hadits Ma’qil ibn Yasar:

اقْرَءُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ (رَوَاهُ أبُو داوُد والنّسَائِي وابْنُ مَاجَه وابْنُ حِبّان وصَحّحَه).

Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian “(H.R Abu Dawud, an– Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).

Hadits ini walaupun dinyatakan lemah oleh sebagian ahli hadits, tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih dan Abu Dawud diam (tidak mengomentarinya) maka dia tergolong hadits Hasan (sesuai dengan istilah Abu Dawud dalam Sunan-nya), dan al Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini Hasan.
Dalil yang lain adalah hadits Nabi:

يس قَلْبُ القُرءَان لاَ يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ و الدّارَ الآخِرَةَ إلاّ غفرَ لَهُ، وَاقْرَءُوهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ (روَاه أحْمد)

“Yasin adalah hatinya al-Qur’an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit–mayit kalian “ (HR. Ahmad)

Ahmad bin Muhammad al Marrudzi (salah seorang murid al-Imam Ahmad ibn Hanbal) berkata : “Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al Fatihah dan Mu’awwidzatayn dan surat al Ikhlas dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka” (Lihat al-Maqshad al-Arsyad, j. 2, h. 338-339).
Al Khallal juga meriwayatkan dalam al Jami’ dari asy-Sya’bi bahwa ia berkata:

كَانَتِ الأنْصَارُ إذَا مَاتَ لَهُمْ مَيّتٌ اخْتَلَفُوا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ لَهُ الْقُرْءَانَ

Tradisi para sahabat Anshar jika meninggal salah seorang di antara mereka, maka mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit)”.

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwasanya ‘Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata: “Alangkah sakitnya kepalaku”, lalu Rasulullah berkata:

” ذاكِ لوْ كَانَ وَأنَا حَيّ فأ سْتَغْفِر لكِ وأدْعُو لَكِ “

“Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu”.

Perkataan Rasulullah ” وأدعو لك ” (maka saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan macam–macamnya, maka termasuk doa seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al-Qur’an dengan tujuan supaya pahalanya disampaikan kepada mayit seperti dengan mengatakan :

اللّهُمَّ أوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ إلَى فُلاَن

Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan”.

Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam Syafi’i menyatakan bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi’i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal – إيصال – (doa agar disampaikan pahala bacaan tersebut kepada mayit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit karena asy-Syafi’i menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa Ii-shal – إيصال – dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayit). Imam an-Nawawi mengatakan: “Asy-Syafi’i dan tokoh-tokoh madzhab Syafi’i mengatakan: Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al-Qur’an, dan jika dibacakan al-Qur’an hingga khatam itu sangat baik”.
Sebagian ahli bid’ah, seperti kaum Wahhabiyah di masa sekarang, mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lain. Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bahwa mereka berdalil dengan firman Allah:

وأنْ لَيْسَ للإنْسَانِ إلاّ مَا سَعَى (سورة النجم : 39 )

Maka ini adalah pendapat yang tidak tepat dan harus ditolak karena maksud ayat ini bukanlah menafikan bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain seperti sedekah dan haji untuk orang yang telah meninggal, melainkan ayat ini menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain yang mengerjakankannya, karena itu jika ia mau ia bisa memberikan kepada orang lain dan jika tidak ia bisa memilikinya untuk dirinya sendiri. Allah tidak mengatakan tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri.
Mereka yang menafikan secara mutlak tersebut adalah golongan Mu’tazilah. Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengingkari orang yang membaca al-Qur’an di atas kuburan, namun kemudian sahabatnya (salah seorang murid dekat) menyampaikan kepadanya atsar dari sebagian sahabat yaitu Ibn Umar lalu dia melepaskan pendapatnya tersebut.
Al-Bayhaqi dalam as-Sunan al Kubra meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Ibn Umar menganggap sunnah setelah mayit dikuburkan untuk dibacakan awal dan akhir surat al Baqarah. Salah seorang ulama Madzhab Hanbali, Asy-Syaththi al-Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al-Muntaha, hlm. 260 mengatakan:

Dalam kitab al-Furu’ dan kitab Tashhih al-Furu’ dinyatakan: Tidak makruh membaca al-Qur’an di atas kuburan dan di areal pekuburan, inilah yang ditegaskan oleh al Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian sebagian menyatakan hal itu mubah, sebagian mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga disebutkan dalam kitab al-Iqna'”.

Menghidangkan Makanan untuk orang yang datang ta’ziyah atau menghadiri undangan baca al-Qur’an

Menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta’ziyah atau menghadiri undangan baca al-Qur’an adalah boleh karena itu termasuk ikram adl-Dlayf (menghormat tamu). Dan dalam Islam ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn ‘Abdillah al Bajali bahwa ia mengatakan :

كُنَّا نَعُدّ الاجْتِمَاعَ إلَى أهْلِ الْمَيت وَصَنِيْعَة الطّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النّيَاحَةِ (رواه أحمد بسند صحيح)

“Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)” (H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih)

Maksudnya adalah jika keluarga mayit membuat makanan tersebut untuk dihidangkan kepada para hadirin dengan tujuan al Fakhr ; berbangga diri supaya orang mengatakan bahwa mereka pemurah dan dermawan atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, karena inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang tidak beriman kepada akhirat itu. Dan inilah Niyahah yang termasuk perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan dilarang oleh Rasulullah.
Jika tujuannya bukan untuk itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah untuk mayit dan meminta tolong agar dibacakan al-Qur’an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak terlarang. Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya dari Ibn ‘Abbas bahwa Sa’d ibn ‘Ubadah ibunya meninggal ketika dia pergi, kemudian ia berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dan aku sedang tidak berada di tempat tersebut, apakah bermanfa’at baginya jika aku menyedekahkan sesuatu yang pahalanya untuknya?, Rasulullah menjawab: “Iya”. Lalu Sa’d berkata: “(Kalau begitu) Saya bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang sedang berbuah itu aku sedekahkan yang pahalanya untuknya”. (Lihat Shahih al-Bukhari, kitab al-Washaya)

Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya

Tradisi ummat Islam mengundang para tetangga ke rumah mayit kemudian memberi makan mereka ini adalah sedekah yang mereka lakukan untuk si mayit dan dalam rangka membaca al-Qur’an untuk mayit, dan jelas dua hal ini adalah hal yang boleh dilakukan. Sedekah untuk mayit jelas dibenarkan oleh hadits Nabi dalam Sahih al Bukhari. Sedangkan membaca al-Qur’an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit, demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya’ ‘Ulum ad-Din.

Adapun yang sering dikatakan orang sebagian ahli bid’ah, seperti kaum Wahhabiyyah, bahwa Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayyit maka maksud asy-Syafi’i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayyit karena asy-Syafi’i menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa Ii-shal dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayyit)”. (lihat Syarh Raudl ath-Thalib, Nihayatul Muhtaj, Qadla’ al Arab fi As-ilah Halab dan kitab-kitab Fiqh Syaf’i yang lain).

Bahwa berkumpul untuk mendoakan mayit dan membaca al-Qur’an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya maka hukumnya adalah sebagai berikut :
1. Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta’ziyah.
2. Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta’ziyah bagi yang belum. Bagi yang sudah berta’ziyah, berkumpul saja pada hari-hari tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi kalau tujuan berkumpul tersebut adalah untuk membaca al-Qur’an dan ini semua mengajak kepada kebaikan. Allah berfirman :

وافْعَلُوا الْخَيْـرَ لَعَلّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (سورة الحج : 77)

“Lakukanlah hal yang baik agar kalian beruntung” (Q.S. al Hajj : 77).

Peringatan:

Anda periksa keluarga anda, terlebih anak-anak anda, jangan sampai memiliki keyakinan seperti pemahaman Wahhabi. Bila anda memiliki anak keturunan yang berkeyakinan seperti faham wahabi bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak bermanfaat bagi mayit, maka anda akan merugi dunia akhirat. Di dunia anda lelah mendidik mereka, tapi begitu anda meninggal mereka sedikitpun tidak mendoakan anda, tidak memberikan manfaat bagi anda, tidak membacakan walau hanya satu kali bacaan surat al-Fatihah. Anda hanya akan dijadikan layaknya “bangkai”, dikuburkan, diinjak-injak, dan lalu ditinggalkan begitu saja. A’udzu Billah.



Amalan yang Sampai pada Mayit

Berikut rincian beberapa amalan yang ada dalil menunjukkan manfaatnya amalan tersebut:

1- Haji dan Umrah

Yang membicarakan tentang sampainya pahala haji dan umrah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا ».

Istri Sinan bin Salamah Al Juhaniy meminta bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi ibunya?! Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. An Nasai no. 2634, Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu Khuzaimah 3034, Sunan An Nasai Al Kubro 3613. Sanad hadits ini shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).

Dalam riwayat lain,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji, maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari 1513 dan Muslim 1334, lafazhnya adalah dari An Nasai dalam sunannya no. 2635).

Begitu pula boleh mengumrohkan orang yang tidak mampu,

عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ».

Dari Abu Rozin Al ‘Uqoili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.” Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An Nasai no. 2638, sanadnya shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).

Yang membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ

“Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim no. 997).

Juga didukung oleh hadits,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ». قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah mendengar seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenasehatinya, “Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.” (HR. Ibnu Majah no. 2903, Abu Daud 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962. Sanad hadits ini dho’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah. Sedangkan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

2- Qodho’ puasa wajib

Dalam hadits ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3: 525).

3- Utang (qodho’) nadzar

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

اقْضِهِ عَنْهَا

“Tunaikanlah nadzar ibumu.” (HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638)

4- Sedekah atas nama mayit

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756).

Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Lihat Majmu’ Al Fatawakarya Ibnu Taimiyah, 24: 314.

5- Amalan sholih dari anak yang sholih

Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

6- Do’a untuk mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit, baik dari anaknya, orang yang melakukan shalat jenazah untuknya, dan kaum muslimin secara umum. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.”(QS. Al Hasyr: 10). Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” (HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’). Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

7- Do’a anak yang sholih, sedekah jariyah dan ilmu yang diambil manfaatnya

Dalam hadits disebutkan,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)