Albani dalam Pandangan Ali Mustafa Yaqub
Seperti pendapat al-Albani di dalam kitabnya Adab al-Zifāf bahwa perempuan diharamkan memakai perhiasan emas yang melingkar (cincin, kalung, gelang dan sebagainya), padahal fatwa tersebut bertentangan dengan hadis shahih dan ijma’ ulama.
Oleh karena itu, Ali Mustafa sangat mendukung apa yang dilakukan oleh Syeīkh Ismāīl al-Anṣārī dalam kitabnya Ibāḥaḥ al-Taḥallī bi al-Dzahab al-Muallaq li al-Nisā wa al-Radd alā al-Albānī Fī Taḥrīmihi, dan Syeīkh Arsyād al-Salafī, ahli hadis dari India dalam kitabnya alAlbānī, Syudzūdzuhū wa Akhṭaṭuhu untuk meluruskan kesesatan pendapat al-Albānī tersebut.
Selain itu, menurut Ali Mustafa al-Albānī jelas sekali telah menjungkirbalikkan kaidah-kaidah telah dibakukan dan disepakati oleh ahli-ahli hadis. Bahkan ia berani mendhaifkan hadis-hadis al-Bukhārī dan Muslim yang telah disepakati keshahihannya oleh para ulama, dan di sisi lain ia menshahihkan hadis yang dinyatakan sebagai semi palsu atau palsu oleh ulama hadis.
Salah satu pendapat al-Albānī yang dianggap sangat radikal oleh Ali Mustafa adalah bahwa orang yang shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama dengan orang shalat dhuhur lima rakaat, artinya shalat tarawih yang lebih dari sebelas rakaat itu haram seperti haramnya shalat dhuhur 5 rakaat. Dasar fatwa al-Albānī adalah hadis Jabir dimana isinya Nabi Saw. merestui Ubay bin Ka’ab shalat Tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat.
Sementara Hadis yang menerangkan bahwa para sahabat shalat Tarawih dua puluh rakaat dinilai dhaif oleh al-Albani. Padahal menurut penelitian Ismail al-Anshari, hadis Jabir tersebut yang diriwayatkan al-Mauṣūlī dan al-Marwadzī adalah dhaif. Karena sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah, seorang yang dhaif.
Ali Mustafa pun juga meneliti hadis tersebut dari sumber Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, al-Mu‟jam al Ṣaghīr karya al-Ṭabrānī dan Mizān al-I’tidāl fī Naqd al-Rijāl karya al-Dzahabī dan kesimpulannya ternyata membenarkan hasil penelitian al-Anṣārī. Bahkan Isa bin Jariyah itu sangat parah, karena menurut ulama kritikus Hadis, ia adalah munkar bahkan matruk. Sementara hadis yang menerangkan bahwa para sahabat shalat Tarawih dua puluh rakaat dinilai dhaif oleh al-Albani itu terdapat di dalam Ṣaḥīḥ alBukhārī yang otomatis hukumnya shahih.
Bukti lainnya adalah al-Albani di dalam kitabnya Ḍaīf al-Jāmi wa Ziyādatuhu, ia mendhaifkan hadis al-Bukhari dan Muslim tanpa menyertakan alasan kedhaifannya. Seperti hadis:
قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
Al-Albānī kemudian mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan al Bukhārī dari Abī Hurairah, dhaif. Padahal setelah dicek Ali Mustafa (dan penulis juga) hadis tersebut memang terdapat di dalam kitab Shahih al-Bukhārī, yang menurut kesepakatan ulama kitab yang paling shahih setelah Alquran.
Selanjutnya dalam kitab yang sama, al-Albānī menyebutkan hadis:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
Al-Albānī kemudian mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah, dhaif. Padahal menurut penelitian Ali Mustafa (dan penulis), hadis tersebut ada di Ṣaḥīḥ Muslim.
Sementara itu, sikap Ali Mustafa sendiri terhadap al-Albānī adalah apabila terdapat ahli-ahli hadis lain selain al-Albani yang menshahihkan dan atau mendhaifkan hadis, maka pendapat al-Albānī dalam hal itu Ali Mustafa ambil.
Dan apabila hanya ada al-Albani sendiri yang menshahihkan dan atau mendhaifkan hadis, maka Ali Mustafa tidak mengambil pendapat al-Albani. Maka bagi Ali Mustafa, pendapat al-Albānī hanya untuk perbandingan, bukan untuk pegangan.
Oleh karena itu, Ali Mustafa menyayangkan salah satu gurunya Muhammad Mustafa al-Aẓāmī ketika mentakhrij dan mentahqiq kitab Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah menyerahkan sepenuhnya kepada al-Albānī untuk mengoreksi kembali kitab tersebut khususnya catatan-catatan tentang hadis-hadis, bahkan dalam menetapkan keshahihan dan kedhaifan hadis.
Selain al-Aẓāmī, Ali Mustafa juga menyayangkan Zuhair al Syawisy ketika hendak menerbitkan kitab Syarḥ al-Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah karya Ibn Abī Izz al-Ḥanafī (w. 792 H.), ia mempercayakan sepenuhnya kepada al-Albānī untuk mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab tersebut. Dan hasilnya, hadis hadis yang sudah jelas ada di dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim masih ia cantumkan di dalam catatan kaki, hadis itu Shahih.
Menurut Ali Mustafa, hal ini sangat berlebihan, karena ia telah memberikan kesan bahwa hadis-hadis itu baru dinyatakan shahih setelah mendapatkan penetapan shahih dari al-Albānī. Padahal menurut Ali Mustafa, pada masa kini, semua orang, utamanya para pemerhati Hadis mengetahui bahwa sebuah Hadis apabila diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim dalam salah satu atau kedua kitab shahih mereka maka Hadis itu Shahih, meskipun tidak disebutkan kata shahih.
Bagaimanapun, keberadaan al-Albānī menurut Ali Mustafa juga ada manfaatnya, setidaknya telah membuat para ulama mau mengobok-ngobok perpustakaan dan menelurkan karya untuk mengkritik al-Albānī seperti halnya yang dilakukan oleh Ḥabīb al-Aẓāmī dengan karyanya “al-Albānī Syudzūdzuhu wa Akhtā‟uhu fī Arba’ati Ajzāin, Abdullah al-Hararī dengan karyanya Tabyīnu Ẓalālāt al-Albānī dan masih banyak lagi.
Bahkan al-Ghimārī salah satu ulama pengkritik alAlbānī mengatakan: “Orang yang mau memeriksa buku-buku al-Albānī dan dia memiliki ilmu serta jauh dari sikap fanatik dan kedunguan, maka ia akan mengetahui dengan jelas bahwa al-Albānī lemah dalam Ilmu Hadis, baik matan maupun sanad.”
Dengan demikian, perkataan al-Ghimari menunjukkan bahwa Ali Mustafa juga termasuk orang yang memiliki ilmu dan tidak fanatik bahkan dungu dengan tidak mengikuti arus pemikiran al-Albānī terlebih dalam bidang Hadis dan Ilmu Hadis. Wa Allahu A’lam bis Shawab.